HAM DALAM PENDIDIKAN
By: Dr. Fauzan, M.Pd.
(Kadis Kominfo Lombok Timur_Pemerhati Pendidikan)
Pada bulan Nopember 1989, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan konvesi tentang hak-hak anak (Convention on The Rights of The Child), suatu tata aturan yang mengharuskan setiap negara anggota badan ini menghormati dan menjaga hak anak-anak.
Salah satu dasar penting munculnya konvensi itu adalah bahwa anak harus dapat dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang baik, sebab keluarga dipandang sebagai landasan yang kuat untuk menyemai sikap kebebasan, keadilan, dan perdamaian.
Setiap anak memiliki hak dan kebebasan untuk berkembang dan memperoleh lingkungan yang baik dalam pengembangan dirinya tanpa dibatasi berbagai macam distingsi seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, aspirasi politik, kebangsaan, hak milik, dan status lainnya.
Anak harus diberi perlindungan yang mencukupi dari para orang dewasa. Pendidik pun harus dapat memberikan bimbingan, pertolongan, atau bantuan agar anak dapat berkembang sesuai kepribadiannya.
Bagaimana pun juga, lembaga pendidikan turut bertanggung jawab dalam mengembangkan kepribadian anak. Pengembangan seperti di atas bertujuan agar anak tumbuh secara harmonis di dalam lingkungan serta atmosfir yang kondusif.
Dengan demikian, lembaga pendidikan, perangkat pendidikan lainnya, baik itu guru, dosen, harus selalu mempertimbangkan pengembangan anak kearah yang lebih harmonis.
Tanpa sadar, hak anak dalam pendidikan seringkali terabaikan.
Pengelola pendidikan, baik pemerintah, pendidik atau wali murid kerapkali lupa bahwa dunia anak membutuhkan perlindungan dan perhatian khusus. Anak seharusnya tak boleh diperlakukan diskriminatif, baik secara halus, tersembunyi, maupun diskriminasi yang dilandaskan pada perbedaan seperti yang telah digambarkan di atas.
Setiap lembaga, baik itu lembaga pendidikan, lembaga pelayanan -dalam pandangan konvensi tentang hak anak- diwajibkan memberikan perhatian dan proteksi yang mencukupi (sesuai dengan standar pelayanan dan fasilitas) bagi anak.
Hal ini dimaksudkan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik, sehingga mereka juga dapat hidup dalam lingkungan yang aman dan nyaman.
Prinsip yang dimaksudkan oleh konvensi hak anak di atas tidak saja mengatur bagaimana kita harus memperlakukan seorang anak, pemahaman menyeluruh tentang anak dan perkembangan kejiwaannya, tetapi konvensi itu juga dimaksudkan untuk mendorong setiap orang dewasa, pengelola pendidikan untuk memberikan pelayanan maksimum, serta penyediaan pendidikan yang berkualitas kepada setiap anak agar mereka dapat hidup dan berkembang secara normal.
Muara logis dari pesan di atas adalah praktek pendidikan yang dilaksanakan di dalam kelas atau dimanapun anak berada tidak memperkenankan adanya perlakuan yang kurang baik terhadap anak didik.
Hal ini menunjukan bahwa setting pembelajaran bagi anak harus benar-benar didasarkan pada landasan kasih sayang, bimbingan, perlindungan, dan pertolongan.
Meningkatnya angka kekerasan terhadap anak, menunjukkan bahwa kita sebagai pemerintah, pengelola pendidikan, dan wali murid telah abai terhadap hak anak untuk mendapatkan kasih sayang, bimbingan, perlindungan, dan pertolongan.
Anak korban kekerasan di tahun 2019 tercatat sebanyak 12.285 kasus, meningkat pada tahun 2020 menjadi 12.425 anak. Tidak berhenti sampai di situ, angka tersebut meningkat tajam menjadi 15.972 anak pada tahun 2022.
Kasus yang menimpa anak tersebut sangat beragam mulai dari penelantaran, kekerasan psikis, kekerasan fisik, pencabulan, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan kekerasan seksual.
Meningkatnya angka kasus kekerasan terhadap anak juga terjadi di Nusa Tenggara Barat.
Laporan yang disampaikan oleh unit PPA Polda NTB menyebutkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani tahun 2021 sebanyak 188 kasus, terdiri dari 125 kasus persetubuhan dan 63 kasus pencabulan.
Jumlah yang sama juga terjadi di 2022 dengan rincian 132 kasus persetubuhan, dan 56 kasus pencabulan. Selain itu, terdapat juga kasus dimana anak merupakan pelaku kekerasan seksual terhadap anak lainnya, yang tahun 2022 berjumlah 21 kasus, dan meningkat di tahun 2022 menjadi 31 kasus.
Sehingga, total kasus kekerasan terhadap anak di tahun 2021 menjadi 228 dan tahun 2022 meningkat menjadi 249 kasus. Sementara itu, data dalam SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) yang berhasil dihimpun oleh DP3AP2KB Provinsi NTB menyebutkan bahwa dari Bulan januati hingga 26 Desember 2022 terdapat setidakya 672 kasus kekerasan terhadap anak.
Berdasarkan data tersebut, Lombok Timur menempati peringkat pertama dengan total kasus kekerasan sebanyak 181 kasus, dan data dari DP3AKB Lombok Timur menyebutkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak di tahun 2022 mencapai 108 kasus.
Bahkan, sepanjang tahun 2023 ini saja sudah terjadi 15 kasus kekerasan seksual terhadap anak, dari 100 kasus kekerasan yang terjadi di Kabupaten Lombok Timur. Ironisnya, kasus dan korban kekerasan seksual terhadap anak dominan terjadi di lingkungan dunia pendidikan.
Oleh banyak pihak, Kabupaten Lombok Timur kemudian diklaim sebagai daerah yang berada dalam zone merah atau darurat kekerasan seksual terhadap anak.
Meski terkesan subyektif, tentu klaim ini diberikan dengan dasar yang kuat. Meningkatkan kasus kekerasan seksual terhadap anak, dan juga maraknya kasus serupa dewasa ini -yang bahkan terjadi dalam lingkup institusi pendidikan- merupakan dasar logis pembenaran terhadap klaim tersebut.
Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan aman bagi anak-anak, telah dimanfaatkan oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan kehendaknya. Dan, kita semua, pemerintah, institusi pendidikan, wali murid, dan segenap masyarakat tentu tidak ingin kasus serupa terulang kembali.
Diperlukan rekonstruksi dalam pengelolaan manajemen pendidikan, agar fokus terhadap pengembangan eksistensi, kompetensi, dan potensi peserta didik, agar tidak lagi menjadi ruang eksploitasi destruktif dengan berbagai dalih yang menyesatkan.
Pendidikan anak yang mengabaikan prinsip perlindungan, dan bantuan bagi anak didik, yang sering menjelma menjadi penekanan, intimidasi atau pemaksaan, perlakuan yang kurang terpuji seperti bullying bagi peserta didik seharusnya dapat ditinggalkan.
Model pendidikan yang mengabaikan prinsip penghormatan terhadap hak anak sudah usang dan tidak memadai, jika tidak hendak kita katakan melanggar konvensi tentang hak anak. Pelanggaran semacam itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak azasi manusia.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana model pendidikan semacam itu dapat dilaksanakan di dalam praktek pembelajaran sehari-hari, sementara itu bentuk pembelajaran yang berlangsung kurang mempertimbangkan hak anak? Pertanyaan seperti ini, sesungguhnya, mencerminkan rancunya perencanaan pendidikan dan model pembelajaran yang dikembangkan.
Penglola pendidikan seringkali lupa, bahwa tanpa hak anak sekalipun, secara pedagogis, anak berada dalam posisi sedang berkembang. Anak bergerak berdasarkan hukum dan tempo perkembangan. Dalam jalur perkembangannya itu, seorang anak akan mengikuti irama dan temponya masing-masing.
Tempo dan irama perkembangan tidak memiliki kesamaan secara individual, walaupun dari berbagai kategori dapat diketahui kecenderungan perkembangannya. Pendidikan semestinya telah mempertimbangkan situasi dan keadaan seperti itu. Program pendidikan semestinya dirancang untuk memberi gizi bagi perkembangan anak.
Pendidikan bukan menjadi penghambat bagi perkembangan anak. Dengan demikian, praktek penyelenggaraan pendidikan, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus memperhatikan hak-hak fundamental yang dimiliki oleh anak.
No comments:
Post a Comment