DurasiNTB

Lugas & Fakta

Iklan

terkini

Menakar Kepantasan Pidana Mati

Monday, February 13, 2023, February 13, 2023 WIB Last Updated 2023-02-16T16:59:38Z

 


OLEH : HIJRI SAMSURI, SH.,MH

DOSEN PADA IAIH HAMZANWADI PANCOR


Pidana mati adalah adalah pidana berupa pencabutan nyawa terhadap terpidana (Kamus Bahasa Indonesia), dalam Rancangan KUH Pidana pasal 66 menyatakan bahwa Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Jika dibandingkan dengan pidana lainnya, Pidana mati merupakan jenis pidana yang terberat, karena dengan pidana mati tersebut terenggut jiwa manusia. Isu tentang Pidana mati kembali mengemuka dan menjadi perbincangan menarik di tengah-tengah masyarakat ketika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari senin tanggal 13 pebruari 2023 menjatuhkan Vonis Mati terhadap Ferdy Sambo, terdakwa pembunuhan berencana terhadap Josua Hutabarat.


Dalam hukum positif kita, pemberlakuan pidana mati hanya dibatasi pada perbuatan/tindak pidana tertentu saja ( Narkoba, pelanggaran HAM berat, terorisme dll) sedangkan perbuatan/tindak pidana biasa/ umum tidak diberlakukan pidana mati.  Keberadaan dan Pemberlakuan pidana mati dalam hukum positif di Indonesia selalu menjadi sorotan dan menimbulkan pro dan kontra, saling silang pendapat selalu mengemuka dalam setiap dialog dan diskusi yang bertemakan pidana mati. Program Mata Najwa dalam episode “Memutus Nyawa” melakukan Polling terhadap pemirsa  di akhir acara dengan hasil 83% setuju dan hanya 17% tidak setuju pidana mati diberlakukan di Indonesia.


Keberadaan pidana mati dalam hukum positif di Indonesia juga telah di uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), para terpidana narkoba meminta Pasal di UU Narkotika yang mengancam dengan hukuman mati dihapus. Terhadap tuntutan tersebut, pada pokoknya Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 menolak hukuman mati ditiadakan/dihapus. Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat hukuman mati tidak bertentangan dengan hak hidup sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, sebab konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia. Bahwa hak asasi seseorang harus digunakan dengan menghargai dan menghormati hak asasi manusia yang lainnya demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial (Nanda perdana putra, MK tolak  penghapusan hukuman mati/Liputan6.com).


Bila itu uji materi terhadap pidana mati tersebut dikabulkan, maka dalam  UU lain (Tindak Pidana Terorisme, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Pengadilan HAM) tidak boleh juga ada Pasal yang mengancam dengan hukuman mati. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut memberikan pesan dan kepastian bahwa pidana mati selaras dan tidak bertentangan dengan Konstitusi Negara kita yakni Undang-Undang Negara Dasar tahun 1945 dan falsafah Negara kita yakni Pancasila.


“Pidana mati harus dimaksudkan  guna memberikan rasa keadilan kepada korban dan masyarakat, bukan hanya menakut-nakuti orang, bukan hanya memberikan efek jera pada pelaku, bukan pula vonis yang dilatarbelakangi oleh rasa dendam dan kebencian pada pelaku tindak pidana”.


Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia mengenal dan menyebut pidana mati dengan istilah Qishash (Al-Baqarah ayat 178-179). Pada masyarakat adat, pidana mati juga sudah lama dikenal jauh sebelum bangsa ini merdeka. Di Aceh seorang isteri yang berzinah dibunuh dan di Batak seorang pembunuh yang tidak membayar uang salah dapat dipidana mati jika dituntut oleh keluarga isteri yang terbunuh. Di Minangkabau dikenal hukum membalas, siapa yang membunuh akan dibunuh. Di Cirebon, penculik wanita dapat dipidana mati. Sementara orang yang bersumpah palsu ditenggelamkan mati di Kalimantan Tenggara. Di Sulawesi Selatan, pemberontak yang tidak mau pergi ke tempat pembuangan dapat dibunuh. Di Sulawesi Tengah wanita yang berhubungan seks dengan batua (budak) juga dipidana mati. Di pulau Bonerate, pencuri diikat tanpa diberi makan sehingga mati (Hamzah 1985).


Pengakuan dan penerapan pidana mati sebagaimana diuraikan tersebut di atas menunjukkan bahwa pidana mati dalam hukum positif di Indonesia sesungguhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan falsafah bangsa dan negara kita, pidana mati dalam hukum positif di Indonesia merupakan internalisasi dari nilai-nilai dan falsafah masyarakat Indonesia. Hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan oleh pakar hukum pidana Prof. Muzakir bahwa “keberlakuan suatu hukum Negara harus didasarkan pada Filsafat hidup yang dianut oleh masyarakatnya, bukan diambil dari luar”. 


Pidana mati harus dimaksudkan  guna memberikan rasa keadilan kepada korban dan masyarakat, bukan hanya menakut-nakuti orang, bukan hanya memberikan efek jera pada pelaku, bukan pula vonis yang dilatarbelakangi oleh rasa dendam dan kebencian pada pelaku tindak pidana. Pada akhirnya, vonis pidana mati harus dilihat sebagai bentuk kehadiran dan tanggung jawab Negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban hidup masyarakat demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial dan sekaligus implementasi dari pembukaan UUD 1945 “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Menakar Kepantasan Pidana Mati

No comments:

Post a Comment

Terkini

Topik Populer

Iklan