ist |
Penulis : Hasan Gauk (Ketua Serikat Nelayan Independen) Nusa Tenggara Barat
Kemarin, semua berjalan dengan baik, nelayan tangkap dan nelayan budidaya. Namun, permainan di pusat begitu kuat uangnya, sehingga, nelayan tangkap dikebiri. Tentu, saya bersedih soal itu. Benur Lobster, yang menghidupi asap dapur, biaya sekolah anak, dan setidaknya nelayan-nelayan itu bisa menabung, kini nasib para nelayan tangkap, sedang terombang-ambing dan mati suri.
Nelayan budidaya dan tangkap itu berbeda skill, ada nelayan tangkap yang tidak bisa budidaya, begitupun sebaliknya, karena ini soal aturan, ada zona tangkap dan zona budidaya. Seharusnya, peraturan dan kebijakan itu dilihat dari sisi aspek dan dampak bagi kehidupan masyarakat pesisir, bukan malah dijadikan bisnis private. "Black Market," kalau mau ditelusuri, masih berjalan hingga hari ini, siapa yang diuntungkan? Tentu para lingkaran pebisnis pusat yang mampu mengotak atik payung hukum negri ini. Lalu korbannya, lagi-lagi rakyat.
Di NTB sendiri masih terdapat kelangkaan bibit Lobster untuk nelayan budidaya, sementara kalau kita melihat data, Vietnam semakin mengeliat usaha budidaya Lobsternya, padahal bibit dikirim dari Indonesia. Ini seolah seperti menampar muka sendiri.
Saya sebagai nelayan, tentu berkeinginan agar semua berjalan baik, nelayan tangkap dapat untung, begitu juga nelayan budidaya. Semua harus mendapat berkah laut, bukan berkah adanya penjara yang selama ini mengintai nelayan tangkap.
Lobster ini bisnis elit, ada politiknya, ada mafianya, ada pemain besarnya. Mereka yang berteriak melarang ekspor benur, justru merekalah yang bermain. Begitu pola hidup di negeri ke tiga ini.
Saya bersentuhan dengan pembudidaya Lobster sejak 2006. Waktu itu, saya sekolah di SMKN 1 Kelautan. Jurusan yang saya ambil Budidaya Perikanan Laut.
Lobster ini mulai viral sejak munculnya Mentri Susi, aturan Permen KP 56, para pembudidaya dibuat kelabakan dengan berbagai aturan yang dikeluarkan Susi waktu itu. Salah satunya, para nelayan tidak boleh menjual Lobster di bawah ukuran 8 centimeter/200 gram. Lalu pada periode kedua Jokowi, Susi digantikan Edhy Prabowo, akhirnya Permen 56 diganti dengan Permen KP 12, nelayan bersyukur, sekarang mereka dapat menjual Lobster dengan size 1,55 gram.
Lalu, Mentri Edhy juga membolehkan masyarakat nelayan mengekspor benih Lobster, di mana pada masa pemerintahan Susi hal itu dilarang bahkan bisa masuk penjara. Seolah masyarakat dijadikan musuh negara, sama seperti para pengedar sabu. Mereka diburu, diintai, lalu ditangkap.
Apakah Permen KP 12 ini lebih buruk dari Permen KP 56? Saya tegaskan, yang jauh lebih baik adalah Permen KP 12. Alasan saya mengatakan itu karena, pembudidaya di Indonesia tidak akan kesusahan mendapatkan benih Lobster untuk budidaya, mereka tidak akan beli, tapi akan mendapatkannya secara gratis.
Namun apa yang salah? Yang salah adalah peraturan yang tidak dijalankan sesuai aturan yang tertera pada aturan Permen KP 12 tersebut. PT yang diberikan ijin sebagai eksportir seharusnya memiliki nelayan Budidaya, mereka mesti melakukan kegiatan Budidaya kurang lebih satu tahun, baru boleh melakukan ekspor.
Selanjutnya, setiap PT yang akan melakukan ekspor benur, 20%-nya harus disisipkan untuk nelayan Budidaya, gratis. Tentu ini untuk para nelayan binaan mereka. Kalau aturan ini diberlakukan maka, nelayan budidaya dan tangkap akan sama-sama ketiban untung. Namun karena aturan dari Permen KP 12 ini tidak berjalan sesuai aturan, akhirnya banyak mafia-mafia yang bermunculan, pejabat korup, baik dari pusat hingga daerah, misalnya soal SKAB. Kalau bicara daerah, disinilah rentan terjadi permainan dan korupsi.
Semua PT yang sudah melakukan kegiatan ekspor seharusnya diperiksa KPK, pun para pejabat DKP, baik Provinsi dan Daerah, karena semua PT itu melakukan maladministrasi yang direstui pemerintah. Mereka belum boleh melakukan ekspor sebelum melakukan kegiatan budidaya, apa kau percaya mereka telah melakukan restocking? Budidaya saja mereka tidak pernah. Namun yang terjadi adalah, aturan dijadikan pemanis para mafia agar agenda-agenda black market berjalan lebih baik di atas meja dan kertas. Permen baru diketok sudah langsung main ekspor. Ini namanya pengkhianatan! Seharusnya mereka mesti menunggu waktu setahun baru boleh melakukan ekspor.
Jadi, kalau kalian masih bertanya manakah yang lebih bagus antara Permen KP 56 dan 12, saya tegaskan, saya masih mendukung Permen KP 12, kalau itu benar-benar dijalankan dengan baik sesuai aturan.
Jika Permen KP 12 ini dijalankan, semua masyarakat agar bergairah menjadi nelayan Budidaya, yang akhirnya kelak, secara berangsur-angsur, kegiatan ekspor benih tidak akan dilakukan lagi. Lalu Indonesia akan menjadi salah satu Negara pengekspor terbesar Lobster konsumsi di Dunia.
Semoga keran ekspor benih Lobster ini kembali dibuka, agar nelayan kembali mendapat berkah laut yang selama ini menghidupi mereka.
No comments:
Post a Comment